Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Memiliki Pertanyaan?
Klik saja kawan!

Hukum Suap menyuap dan yang menerima suap dalam Islam

0 komentar



Suap dapat masuk dalam beragam lini kehidupan manusia. Diantaranya suap-menyuap dalam hukum dan peradilan. Disebabkan suap banyak manusia yang tidak bersalah dihukum dan yang seharusnya mendapat hukuman justru bebas darinya. Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hakim ada tiga: satu di surga dan yang dua di neraka. Yang disurga adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan ia memutuskan perkara dengannya. Hakim yang mengenal kebenaran namun berbuat jahat di neraka, dan hakim yang memutuskan perkara manusia dengan kebodohan di neraka.” (HR Abu Dawud degan sanad yang shahih)

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Humaid al-Sa’idi, salah seorang sahabat Nabi, menuturkan, “Rasulullah saw menugaskan pada seorang pria dari Bani Asad bernama Abdullah al-Latbiah ke suatu tempat untuk mengumpulkan harta zakat. Sepulangnya dari tugas, ia menghadap Nabi saw dan berkata, “Harta yang ini adalah hadiah untuk engkau, sedangkan harta yang itu mereka hadiahkan untuk saya.”

Mendengar laporan tersebut, Rasulullah saw bangkit menuju mimbar untuk memberikan pengarahan.

مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِي بَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ ... الحديث (رواه مسلم) 


"Apa yang terjadi pada seorang petugas yang telah kusuruh ini, dengan enak ia mengatakan harta ini adalah untuk engkau dan harta yang lainnya adalah hadiah untuk saya. Tidakkah jika ia duduk santai di rumah orang ayahnya atau rumah ibunya,, apakah hadiah itu akan tetap datang padanya atau tidak? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, salah seorang kalian tidak memperoleh sedikit pun dari hadiah (ketika menjadi pejabat) kecuali di hari kiamat nanti ia datang dengan memikulnya, di pundaknya terdapat unta atau sapi betina atau kambing yang mengeluarkan suara khasnya masing-masing...” (HR. Muslim, No. 3413)

Secara etimologi, kata hadiah berasal dari bahasa Arab; hada-yahdi-hadiyyah, yang berarti kumpulan atau himpunan (Al-Jauhari dalam Kamusnya al-Shihah). Sedangkan hadiah secara terminologi adalah sejumlah harta yang diberikan seseorang pada orang lain tanpa ada syarat (perjanjian) di dalamnya. Hadiah juga bisa diartikan sebagai pemberian sejumlah harta tanpa dimulai dengan adanya permintaan, atau tanpa adanya perjanjian untuk memberikan pertolongan. Memberikan hadiah adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Islam. Abu Ya’la meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai!”. Ibnu Asakir juga menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai! Saling berjabat tanganlah, maka rasa benci di antara kalian akan hilang!”. (al-Zarqani:1411 H:IV/333). 

Selain itu, Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah, karena hadiah itu dapat menghilangkan rasa benci di dalam hati!” (HR. al-Tirmidzi/No.2130) Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa memberi hadiah dianjurkan di dalam Islam. Kendati demikian, para ulama sepakat bahwa perintah tersebut tidak sampai pada hukum wajib, melainkan hanya sunah saja. Dalam kategori ini, menerima hadiah juga dihukumi sunah, sebab di dalamnya terkandung nilai kasih sayang antar sesama manusia (khususnya antara pemberi dan penerima). Hukum ini berlaku bagi kaum muslimin yang tidak memegang posisi jabatan dalam birokrasi atau instansi.

Sebuah hadits dari Buraidah bahwa Nabi saw bersabda,

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ


 "Barang siapa yang diangkat oleh kami sebagai pejabat dengan upah kerja (gaji) yang telah ditentukan, maka harta yang diambilnya selain itu adalah harta korupsi.” (HR. Abu Dawud/No.2554).

Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal gigih menolak hadiah yang dikirimkan kepadanya. Suatu ketika ada seorang pria memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah saw dulu pernah menerima hadiah, padahal beliau sedang menjabat kepala pemerintahan. Mendengar hal itu, Khalifah Umar dengan tegas menjawab, “Harta tersebut bagi Nabi saw adalah hadiah, sedangkan bagi kita (umatnya) adalah suap. Orang memberikan hadiah kepada beliau karena melihat posisinya sebagai seorang Nabi bukan seorang kepala pemerintahan, sedangkan kita, orang memberikan hadiah karena melihat posisi kita sebagai seorang birokrat.” (Muhammad Ibrahim:1986:186) Seorang hakim yang diberi ‘bingkisan’, tentu di dalamnya terselip sebuah ‘tujuan’. Pepatah mengatakan, “Ada udang di balik batu”. Jika memang hadiah tersebut tulus diberikan kepadanya, kenapa sebelum menjabat sebagai hakim, ia tidak menerimanya. Oleh karena itu, di balik pemberian tersebut, seorang pemberi bermaksud ingin menyuap si hakim agar mencabut putusan atas kesalahannya, atau mempercepat agar hak-haknya segera diluluskan. Semua itu hukumnya haram.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dari Sahabat Tsauban ra, secara jelas mengungkapkan bahwa suap menyuap adalah perbuatan yang terlarang dalam Islam:

 لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ (رواه الحاكم)

"Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, orang yang menerima suap, dan orang yang menjadi pelantara keduanya.” (HR. al-Hakim/No.7068)

Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Nihayah menyebutkan bahwa ada sedikit pengecualian yang menjadikan suap menyuap menjadi boleh. Yaitu ketika pemberian harta itu ditujukan untuk mempermudah perkara yang benar dan adil, atau untuk mencegah kemungkaran dan kedzaliman. Sebab konotasi suap menyuap yang diharamkan adalah pemberian dengan tujuan menjadikan perkara yang benar menjadi salah, sedangkan yang salah menjadi benar. Kebolehan ini tidak berlaku bagi hakim, jaksa, dan penguasa. Karena mengayomi masyarakat dari kedzaliman dan memperlakukan semuanya dengan penuh keadilan adalah tugas mereka yang harus dilaksanakan, tidak perlu menunggu hadiah atau pemberian. (al-Mubarakafuri:tth:IV/471).

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.